Epidemiolog Universitas Griffith Australia, Dicky Budiman menilai 5.000 tracer atau petugas pelacak kontak virus corona (Covid 19), masih terlalu minim untuk menangani penduduk Indonesia yang kini mencapai 270,2 juta jiwa. Berdasar pada data hasil Sensus Penduduk 2020 yang berlangsung tahun lalu dan diumumkan Badan Pusat Statistik (BPS), hingga September 2020, jumlah penduduk Indonesia meningkat 32,57 juta jiwa jika dibandingkan tahun 2010 yang hanya mencapai 237,63 juta jiwa. Ia kemudian membandingkan jumlah tracer ini dengan yang dimiliki Wuhan, sebagai kota yang dianggap asal dari wabah Covid 19.
Menurutnya, pemerintah kota di provinsi Hubei, China itu memiliki 10 ribuan tracer untuk menangani 10 jutaan penduduk. Ini berarti 1 tracer di Wuhan memiliki tugas untuk melakukan tracing terhadap 1000 penduduk. "Untuk gambaran saja, di Wuhan dengan penduduk sekitar 10 jutaan, dia punya tracer 10 ribuan dengan penduduk 10 juta," jelas Dicky.
Selain didukung 10 ribuan tracer, Wuhan juga memiliki 10 ribuan Epidemiolog dan fasilitas penunjang seperti digital tracing. "Kemudian punya 10 ribu Epidemiolog, ditambah lagi dengan digital tracing," kata Dicky. Sehingga ia menilai wajar saja jika negara lain berhasil menangani pandemi Covid 19.
Hal itu karena mereka sudah menunjukkan keseriusan dan kesiapan dalam merespons pandemi ini. "Jadi kalau bicara keberhasilan negara lain ya kita melihat memang wajar, layak lah. Karena selain responsnya cepat tepat ya, resourcesnya juga sudah disiapkan," tegas Dicky. Dicky kemudian menjelaskan bahwa negara seperti China telah memiliki sistem kesehatan yang baik dalam menghadapi pandemi, berkaca dari kasus sebelumnya seperti virus SARS hingga flu burung.
"Mereka belajr sangat serius dari pandemi SARS, flu burung, selain flu. Sehingga sistem kesehatannya sudah dipersiapkan," tutur Dicky. Selain China, kata dia, beberapa negara anggota ASEAN juga kini mulai belajar dari pandemi ini. "Termasuk di negara ASEAN ya, seperti Singapura, Vietnam, Thailand itu belajar," pungkas Dicky.